RAGAM DAERAH–Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) bertanggung jawab terhadap seluruh siklus produk obat dan makanan, mulai dari uji klinis hingga distribusi dan pengawasan pasca-pemasaran,” ujar Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI, Prof. dr. Taruna Ikrar, M.Biomed., Ph.D.,
Prof. Taruna melakukan kunjungan kerja ke PT Sanbe Farma di Jalan Industri Cimareme, Kabupaten Bandung Barat. Kamis, (16/01/2025).
Kunjungan ini bertujuan memantau langsung operasional salah satu perusahaan farmasi nasional terbesar di Indonesia, sekaligus mempererat hubungan antara BPOM dan pelaku industri farmasi.
Menurutnya, setiap obat yang diproduksi harus melalui berbagai tahapan sertifikasi dari BPOM. Tahapan ini meliputi sertifikasi uji klinis, izin produksi yang sesuai standar Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB), hingga nomor registrasi edar.
“Jika ada masalah terkait produk, BPOM juga yang bertanggung jawab,” tambahnya.
Dalam kunjungannya, Prof. Taruna mengapresiasi inovasi yang dilakukan oleh PT Sanbe Farma. Salah satu produk unggulan yang sedang dikembangkan adalah monoclonal antibody (mAbs), teknologi mutakhir yang sebelumnya digunakan dalam pengobatan COVID-19 dan kini difokuskan untuk terapi kanker.
“Sanbe Farma bekerja sama dengan perusahaan bioteknologi global untuk menghadirkan teknologi terbaik. Tidak hanya kerja sama biasa, mereka bahkan membeli teknologi tersebut, sehingga pengembangannya dilakukan sepenuhnya di Indonesia,” jelasnya.
Selain monoclonal antibody, Sanbe Farma juga mengembangkan berbagai produk lain, seperti insulin, vaksin, dan terapi berbasis sel. Saat ini, lebih dari 400 produk Sanbe telah mendapatkan nomor registrasi BPOM, semuanya dengan standar keamanan dan kemanjuran tinggi.
Kunjungan ini juga menjadi bagian dari upaya BPOM untuk meningkatkan statusnya ke Level 4 Maturity dalam standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Jika tercapai, BPOM akan diakui setara dengan otoritas pengawas obat dan makanan di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa.
“Salah satu syarat utama untuk mencapai Level 4 adalah hubungan kerja yang kuat dengan pemangku kepentingan, termasuk industri farmasi. Sanbe Farma menjadi contoh penting dalam hal ini,” kata Prof. Taruna.
Ia juga berharap PT Sanbe Farma bisa meningkatkan statusnya ke level tertinggi dalam skala industri farmasi, yaitu Level 5.
“Kita ingin Sanbe Farma tidak hanya menjadi kebanggaan nasional tetapi juga mampu bersaing di pasar global, sehingga memberikan dampak besar pada perekonomian,” tegasnya.
Dalam penutup wawancaranya, Prof. Taruna menegaskan dukungan penuh BPOM terhadap inovasi farmasi nasional.
“Produk-produk seperti monoclonal antibody tidak hanya penting untuk kesehatan masyarakat tetapi juga menunjukkan kemampuan teknologi Indonesia kepada dunia,” ujarnya.
Ia menambahkan, “Bayangkan jika nanti produk-produk ini dikenal secara global dengan label ‘Made in Indonesia’. Ini bukan hanya soal kebanggaan tetapi juga langkah strategis untuk memperkuat posisi Indonesia di sektor kesehatan dan ekonomi internasional.”
Owner PT Sanbe Farma, Drs. Jahya Santoso, Apt melalui Technical Operation Director PT Sanbe Farma, Apt. Hafizh D. Esas ,S.Fram., MM menjelaskan, rencana pengembangan monoclonal antibody (mAbs) terbaru, untuk terapi kanker payudara.
“monoclonal antibody (mAbs) yang kami kembangkan untuk membantu pengobatan kanker payudara, salah satu penyakit dengan angka kematian tertinggi di dunia,” ujar Hafizh.
Produk ini dirancang dalam dua bentuk: cairan monoclonal antibody sebagai bahan dasar dan serbuk beku kering (lyophilized) dalam vial untuk produk jadi. Keduanya ditargetkan untuk dapat digunakan pada pasien yang sudah terdiagnosis maupun sebagai langkah pencegahan.
PT Sanbe Farma menargetkan pembangunan pabrik selesai pada Desember 2025.
“Setelah pabrik selesai, pada Maret 2026 kami akan memulai sertifikasi dan transfer teknologi dari perusahaan mitra kami, dimana perusahaan tersebut sebagai perusahaan bioteknologi terbaik kedua di dunia,” ungkap Hafizh.
Proses transfer teknologi ini diproyeksikan memakan waktu sekitar enam bulan hingga satu tahun. Jika berjalan sesuai rencana, produk monoclonal antibody (mAbs) akan mulai tersedia di pasaran pada akhir 2026 atau awal 2027.
Kunjungan kerja ini menjadi bukti nyata komitmen BPOM dalam mendukung kemajuan industri farmasi nasional, memastikan kualitas produk sesuai standar internasional, sekaligus memperkuat posisi Indonesia sebagai pemain utama dalam industri kesehatan global.***
