RAGAM Daerah-Proyek pengadaan barang dan jasa pemerintah di Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (PUTR) Kabupaten Bandung Barat didominasi oleh belanja barang jasa dengan sistem pengadaan langsung.
Koordinator LSM JANGKAR KBB, Ridawan mengatakan, belanja barang dan jasa pemerintah dengan sistem pengadaan langsung rawan terjadi penyalahgunaan atau rawan terjadi korupsi.
Merujuk data pengadaan barang dan jasa di Dinas PUTR bidang Penyehatan Lingkungan Pemukiman dan Air Minum Kabupaten Bandung Barat tahun anggaran 2022 s/d bulan Juli di situs lpse.bandungbaratkab.go.id, laman yang disediakan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang Jasa Pemerintah (LKPP), terdapat 61 paket Pembangunan Sarana SPAM dan 24 paket Pembangunan Sarana MCK senilai miliaran Rupiah dengan sistem pengadaan langsung alias tanpa tender.
“Sesuai aturan, sistem pengadaan barang dan jasa dengan sistem pengadaan langsung tidak memerlukan tender karena nilainya maksimal hanya Rp200 juta,” kata Ridwan, Sabtu (10/9/2022).
Pria yang disapa Wow Jangkar ini mengatakan, pengadaan langsung diduga dilakukan untuk menghindari tender. Sesuai ketentuan, tender bisa dilakukan untuk proyek pengadaan di atas Rp200 juta. “Kalau tender transparan, semuanya terbuka siapa
penyedianya, ada penawaran dari beberapa rekanan, bisa diakses publik. Kalau pengadaan langsung (PL) tidak seterbuka lelang/tender karena yang bisa ikut adalah perusahaan yang di undang oleh SKPD saja, atau kenapa memilih kontraktor tertentu publik tidak tahu,” katanya.
Untuk menghindari tender, sering kali memecah paket menjadi beberapa paket dengan nilai di bawah Rp 200 juta. Padahal paket tersebut memiliki karakteristik dan jenis yang sama, hanya saja lokasi yang berbeda.
“Misal untuk paket SPAM, MCK dan lainnya itu di pecah beberapa paket dengan nilai di bawah Rp. 200 juta diduga untuk menghindari tender dan di berikan kepada perusahaan itu itu saja, ini tidak masuk akal bisa di kroscek harga penawaran system lelang dan yang mereka lakukan dengan Penawaran system pengaadaan langsung jauh berbeda.” kata dia.
Praktik memecah paket seperti ini patut dikritisi karena kerap kali tidak logis alasan pemilihan pengadaan dengan metode seperti itu. “Banyak kasus seperti ini. Kalau seperti ini ada indikasi penyalahgunaan,” kata dia.
Potensi penyalahgunaan yang mungkin terjadi, lanjut Ridwan, misalnya kolusi antara SKPD selaku panitia pengadaan barang dan jasa dengan penyedia atau kontraktor. “Kalau benar ada persekongkolan antara SKPD dan penyedia, dan ada fee, tentu sudah penyalahgunaan wewenang (korupsi),” ungkapnya.
Pengadaan langsung (PL) dalam jumlah banyak kata dia juga memboroskan anggaran karena butuh dokumen pengadaan yang lebih banyak dibanding tender dan mungkin terjadi karena praktik kolusi yang menyebabkan biaya pembelian menjadi lebih mahal. Belum lagi pemborosan anggaran hingga
20% – 25%. Hal ini berdasarkan tingkat penurunan penawaran harga dalam tender + 20 – 25 % dari HPS sedangkan dalam Pengadaan langsung (PL) harga penawaran hanya 0,2 – 1,5 % dari HPS.
Contohnya tender paket Pemeliharaan Berkala Jalan Pasirucing-Margaluyu (DAK) dengan nilai HPS Rp. 4.465.821.000,00 nilai berkontrak sebesar Rp. 3.350.764.900,00 penawaran turun sekitar 25% sedangkan untuk paket pekerjaan Pengadaan Langsung (PL) seperti Sarana dan Prasarana SPAM Kp.
Campaka Rt 01 Rw 01 Desa Pataruman kec. Cihampelas dengan nilai HPS Rp. 144.955.769,80 nilai negosiasi Rp. 144.766.000,0 penawaran hanya turun sekitar 0.2%
“Masyarakat atau media bisa menelusuri dugaan penyalahgunaan dalam pengadaan langsung seperti ini dengan menelusuri kenapa paket dipecah sebanyak ini, bagaimana perencanaannya, apa dasar yang digunakan untuk memecah paket, untuk itu kami akan melaporkan dugaan Persengkongkolan dan indikasi Tindak Pidana Korupsi ini kapada Aparat Penegak Hukum (APH)” tutupnya. ***
