RAGAM DAERAH–Yani,30, warga Kampung Cinta Karya 03/08, Desa Cililin, Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat (KBB) sudah biasa disuguhi bau sampah yang menyengat.
Setiap hari, selalu disuguhi pemandangan yang berasal dari sampah pasar di belakang rumahnya.
Tak heran, paling merasakan dampak dari kondisi sampah belakang pasar adalah orangtuanya.
Sejak awal, orangtua Yani memang telah menderita sesak napas atau asma. Lama kelamaan, kondisi kesehatannya semakin memburuk yang diharuskan pindah ke tempat yang lebih sehat.
Namun, pindah ke tempat baru bukanlah hal yang mudah bagi keluarga Yani. Kondisi ekonomi membuat sulit untuk menemukan tempat nyaman dan aman. “Kami dan keluarga masih tinggal di tempat yang sama, sambil menunggu pembayaran atau kejelasan dari pihak Pemerintah Kabupaten Bandung Barat,” katanya.
Pemerintah Kabupaten Bandung Barat telah mengumumkan program untuk membeli rumah-rumah yang berada di kawasan pembuangan sampah untuk dijadikan tempat TPS Pasar. Program ini dijanjikan akan dilaksanakan setahun sekali.
Program tersebut belum terwujud, dan kami masih menunggu kejelasan dari pihak pemerintah.
Lebih dari empat tahun telah berlalu, dan program tersebut belum juga terealisasi. “Kami telah berulang kali menanyakan kepada pihak kantor pasar tentang status program tersebut, namun jawaban yang kami terima selalu sama: Belum ada uangnya,” kata Yani.
Sementara itu, kondisi lingkungan di sekitar rumahnya semakin memburuk. Semakin banyak orang yang membuang sampah di tempat tersebut, kondisi udara dan air di sekitar makin tercemar. Air yang seharusnya jernih dan bersih, kini sering kali keruh dan berbau selokan.
“Bahkan setelah mandi, tubuh kami masih terasa bau dan kotor. Seharusnya mandi membuat kami merasa bersih dan segar, namun kenyataannya adalah sebaliknya,” keluhnya.
Yani sudah merasakan sudah tidak kuat lagi, bukan hanya dirinya yang terkena dampak udara buruk itu.”Selama saya mendampingi ibu saya di sana selama enam bulan, saya juga ikut terkena dampaknya. Bahkan, saya harus melakukan penguapan akibat Inpeksi Saluran Pernafasan (ISPA) di Puskesmas,” katanya.
Tidak hanya itu, anaknya juga harus dirawat di rumah sakit dua kali. “Pertama kali di Oktober 2024 di RS Cililin, dan kemudian di November di RS IMC Padalarang,” sebutnya.
Hasil diagnosa dokter menyatakan bahwa anaknya menderita infeksi paru-paru yang disebabkan oleh lingkungan yang tidak sehat dan tidak bersih.
“Sambil menunggu keputusan pemerintah, kami berusaha mencari tempat yang lebih sehat dan nyaman. Keluarga saya sempat pindah-pindah tempat, ikut ke saudara, untuk mendapatkan udara yang lebih baik dan sehat,” katanya.
Tempa tinggal saat ini sudah tidak layak lagi. Apalagi ketika hujan besar, air selokan menjadi keruh dan berbuih, masuk ke dalam rumah, dan menimbulkan banyak belatung. “Bahkan, saudara saya yang tinggal di sana mulai mengalami sakit-sakit dan asma yang sering kambuh,” katanya.
Berharap pihak pemerintah segera merealisasikan programnya. Selain membeli rumah juga berharap ada kompensasi untuk kesehatan warga. “Anak saya, dan semua warga terdampak. Mereka saat ini menderita sakit-sakit akibat dampak yang ditimbulkan oleh TPS Pasar Cililin,” tuturnya.
Keluarga tersebut berharap segera terwujud bantuan pemerintah, karena pindah dari tempat yang lama ke tempat yang baru memerlukan biaya. “Kami terpaksa meminjam uang sana-sini demi kesehatan orangtua dan keluarga saya,” ungkapnya.
Usia kandungan lima bulan dengan kondisi hamil ini, khawatir terhadap janin yang disebabkan dari lingkungan yang tidak sehat. “Membuat saya mudah sesak, dan saya memutuskan untuk pindah dengan meminjam uang sana-sini,” katanya.
Hasil diagnosa dari dokter anaknya menderita infeksi paru-paru, sedangkan ibu menderita radang paru-paru. RSUD Cililin merekomendasikan dan sangat menyarankan untuk segera pindah dari lokasi tersebut dan mencari lingkungan yang sehat dan nyaman. Hal ini karena lingkungan di situ sudah tidak layak untuk ditempati sehari-hari.
“Yang disayangkan adalah bahwa selama empat tahun kami dan warga di sekitar terdampak, belum pernah mendapatkan kompensasi sepeserpun. Bahkan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) seolah-olah tutup mata,” keluhnya. ***
