Oleh Djamu Kertabudhi Akademisi
SECARA tidak sengaja saya bertemu seorang guru non PNS atau dikenal guru honorer di daerah Lembang. Ia berkeluh kesah soal status dirinya dan teman senasibnya. Dengan setumpuk tugas dan beban tanggung jawab yang besar dan mendasar dalam rangka menjaga kualitas anak didik, juga memiliki tugas tambahan sebagai operator.
Sedangkan penghasilan hanya rata-rata Rp 300.000 (tiga ratus ribu rupiah) per-bulan. Yang membuat saya terharu, dengan penghasilan kurang manusiawi itu mereka tetap bertahan, malah ada yg sudah mengabdi ber tahun-tahun.
Menurut informasi, sumber dana penghasilan guru non PNS itu diambil dari Dana BOS (15 %), dan hal ini dimungkinkan.
Dengan demikian, penggunaan dana BOS ini tanggung jawab kepala sekolah, maka sebagai “legal formal” pengangkatan guru honorer ini ditetapkan berdasarkan SK Kepala Sekolah yang bersangkutan.
Satu hal yang saya khawatirkan, apabila hal ini dibiarkan berlarut-larut akan berdampak negatif terhadap kualitas anak didik. Malahan sebagian besar dari mereka sudah memiliki NUPTK (Nomor Unik Pendidik & Tenaga Kependidikan), sbg identitas dirinya tercatat di instansi pusat dan sekaligus pengakuan terhadap profesinya.
Kiranya sangat terhormat apabila Pemda KBB melakukan terobosan kebijakan mengangkat mereka berdasarkan SK Bupati sebagai guru non PNS dengan status P3K (Pegawai Pemerintah dgn Perjanjian Kontrak). Hal ini dimungkinkan berdasarkan UU 5/2014 tentang ASN degann sumber penghasilan dibebankan pada APBD.
Ini tidak berlebihan apabila sementara mereka mendapat penghasilan sebesar Rp 1.500.000,- per-bulan dengan cara melakukan efisiensi Anggaran Belanja tidak langsung dalam APBD. Adapun penghasilan bersumber dari Dana BOS diberikan kepada guru non PNS mendpt tugas tambahan sebagai pperator. Punten, Wassalam. (*)