Bandung Barat

Peran Wirausaha Muda untuk Kemajuan Ekonomi Bandung Barat

Firaldi Akbar Zulkarnain.

Oleh Firaldi Akbar Zulkarnain (Ketua AMPG Bandung Barat)

Pertumbuhan ekonomi Indonesia secara nasional tidak memberikan angka memuaskan, catatan dipenghujung tahun 2016 menunjukkan hanya menunjukkan angka 5,02%, provinsi Jawa Barat juga mengikut tren pertumbuhan yang sebenarnya tidak terlalu memuaskan yakni 5,67% (BPS Pusat, 2017), dan jika memperhatikan pertumbuhan ekonomi Bandung Barat maka angka nya tidak jauh berbeda dengan provinsi Jabar yakni 5,64% (BPS Bandung Barat, 2017).

Dan data yang ditunjukkan BPS akan lebih memperihatinkan jika menganalisis dari sisi banyaknya jumlah pengangguran di Jawa Barat yang mencapai angka tertinggi kedua setelah Banten, yakni di 8,89%. Dan utama nya kabupaten Bandung Barat harus lebih menelan pil pahit jika memperhatikan data BPS Bandung Barat terkait angka kemiskinan di tahun 2016 yang berada di angka 11,71%, atau lebih tinggi dari rata-rata angka kemiskinan nasional yang berada di angka 10,70%, yang menunjukkan ketidakberhasilan kepemimpinan Abu Bakar sebagai bupati Bandung Barat.

Dari data di atas dapat dianalisis bahwa walaupun angka pertumbuhan ekonomi Bandung Barat di atas rata-rata nasional, namun tidak mampu memberikan dampak signifikan untuk mengurangi angka kemiskinan dan jumlah pengangguran di kabupaten ini, pola ekonomi nasional yang masih mengandalkan belanja negara di saat pendapatan sektor pajak menurun karena dampak kelesuan pasar ekstraktif, berdampak pada banyak nya pemotongan transfer pusat ke daerah.

Selain itu di Bandung Barat sendiri, sektor pertanian belum tergarap dengan cukup serius, padahal sektor ini memberikan sumbangsih lapangan pekerjaan kedua setelah industri olahan, tinggi nya angka kemiskinan dibidang pertanian karena mayoritas pelaku pertanian hanyalah petani tradisional dan buruh tani, yang belum memiliki keahlian teknik pengolahan dan manajemen pemasaran yang baik, sedangkan jumlah petugas penyuluh pertaninan (PPL) di Bandung Barat hanya 49 orang, padahal petani di Bandung Barat sendiri yang membutuhkan penyuluhan dan pelatihan ada tersebar di 165 desa, angka yang jauh dari ideal untuk memaksimalkan sektor pertanian menjadi unggulan pemasukan bagi kesejahteraan masyarakat Bandung Barat (Pikiran Rakyat, 2017).

 

Wirausaha Muda Sebagai Solusi

Salah satu akar lesu nya angka pertumbuhan yang berefek pada peningkatan pengangguran dan rendahnya angka kesejahteraan penduduk karena rendahnya jumlah wirausaha di Indonesia yang hanya berjumlah 1,65%, atau lebih rendah dibanding negara-negara lain di Asean, seperti Singapura jumlah pengusaha sudah mencapai 7% (dari jumlah penduduk), Malaysia 5% dan Thailand 3% (Detik, 2015). Padahal menurut David McClelland dalam teori wirausaha nya yang sangat terkenal, bahwa jika sebuah negara ingin maju, minimal harus ditopang oleh jumlah wirausaha sebesar 2%, karena dengan konsep kebutuhan mencapai prestasi, maka setiap individu memiliki motif maju yang berdampak pada negara (Eka Sastra, 2017).

Joseph Schumpeter menjelaskan bahwa wirausaha sebagai faktor utama dalam pembangunan ekonomi karena perannya menciptakan inovasi, membuat produk baru, mencari pasar baru dan menemukan sumber-sumber bahan baru. Alfred Marshall misalnya menyebutkan bahwa wirausaha sebagai faktor pengendali (driving factor) terhadap faktor produksi lainnya, yaitu tanah, buruh, modal, dan organisasi. Karakter seorang wirausaha memiliki pemahaman pengembangan industri, keterampilan kepemimpinan, serta memiliki pandangan perubahan suplai dan permintaan ekonomi (Ibid).

Maka sudah menjadi faktor tidak terelakkan bagi pemerintah, organisasi kemasyarakatan dan kepemudaan di Bandung Barat untuk bersatu-padu bahu-membahu melakukan transformasi sosial-ekonomi bagi masyarakat Bandung Barat, sebagai catatan tersendiri bahwa partisipasi penduduk Bandung Barat yang berkuliah sangat rendah sekali, yakni hanya 7% dari keseluruhan jumlah penduduk dengan usia aktif berkerja (BPS Bandung Barat, 2017), sehingga dengan sendirinya pendapatan dan kesejahteraan penduduk menjadi tidak meningkat signifikan karena masih rendahnya kualitas SDM di Bandung Barat.

Padahal di dalam konteks otonomi daerah, desentralisasi ekonomi-fiskal (World Bank, 1999) menjadi salah satu instrumen wajib daerah, sehingga sudah menjadi keharusan bagi daerah untuk berusaha mengembangkan berbagai potensi lokal yang dimiliki agar terjadi peningkatan pendapatan asli daerah (Subarsono, 2016). Tidak terkecuali bagi Kabupaten Bandung Barat, misal Bandung Barat kaya sekali dengan destinasi wisata alam baik hutan, gunung, sungai serta wisata danau.

Tentu hal ini menjadi salah satu asset yang cukup besar guna menambah PAD selain meningkatkan ekonomi masyarakat setempat. Maka sebaiknya unsur pemerintah dengan di dukung organisasi masyarakat serta pemuda bisa membantu dengan melakukan pelatihan wirausaha bagi masyarakat setempat, dan mendorong potensi desa-desa Bandung Barat di sektor pertanian, wisata dan industri kreatif, untuk pengembangan industri kecil menengah dan industri eko-wisata, sesuai dengan nilai khazanah lokal, sehingga selain kesejahteraan masyarakat Bandung Barat bisa terwujud, tanpa harus mengorbankan karakter sosial-budaya nya.(*)

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top