RAGAM DAERAH–Hekteran lahan di Desa Waringin, Kecamatan Rongga, Kabupaten Bandung Barat (KBB) menjadi tempat yang cukup subur di tanami pohon tembakau.
Warga di sana, memanfaatkan lahannya kurang lebih 7 hektare secara turun temurun untuk menjadi petani tembakau.

“Tembakau ini warisan dari orang tua, ya dibangkitkan kembali oleh kami-kami ini sebagai generasi milenial sesuai arahan dari Pak Gubernur dan Pak Plt Bupati Bandung Barat,” ujar Ketua Kelompok Tani (Poktan) Waringin, Kecamatan Rongga KBB, Andriana belum lama ini kepada wartawan.
Dorongan kuat menjadi petani milenial itu, para petani di sana mengikuti pelatihan cara pengolahan tembakau yang baik agar menghasilkan tembakau berkualitas.
Namun pada panen tembakau para petani diawal bulan Agustus 2022, mengalami keterlambatan latantaran cuaca hujan.
“Biasanya panen gebyarnya itu di bulan Juli. Ini bulan ke delapan terjadi keterlambatan panen ya tinggal sedikit lagi yang bisa dipanen,” ujarnya.
Para petani biasa bisa tiga kali memanen tembakau dalam satu tahun yakni panen daun bawah, tengah, dan atas. “Ini juga tinggal sedikit lagi daun bawahnya,” katanya.
Sedangkan hasil tembakau yang sudah diolah hanya sebatas untuk pasaran lokal di sekitaran Kecamatan Rongga untuk tujuh desa yaitu, Cibitung, Sukaresmi, Cicadas, Cinengah, Bojong dan Sukamanah. “Kalau untuk pasaran di Bandung Barat untuk bakau mole tidak akan cukup karena terkendala cuaca karena kami butuh penjemuran pascapanen,” katanya.
Tak heran kondisi cuaca yang tidak menentu, para petani harus mengalami gagal panen sehingga untuk memenuhi pasar lokal terbatas. “Jadi untuk memenuhi kebutuhan pasar lokal saja kurang sebetulnya keterbatasan stok,” katanya.
Satu kelompok tani hanya bisa menghasilkan 2.500 lempeng tembakau kering siap diapasarkan sehingga tidak bisa memenuhi permintaan pasar lokal. “Jadi untuk memenuhi kebutuhan pasar itu mengambil barang dari Tanjungsari untuk memenuhi kebutuhan pasar,” ungkapnya.
Para petani menjualnya dari mulai Rp 35 ribu hingga Rp 45 ribu per lembar tembakau kering atau sekitar 2,5 ons tergantung dari kualitas tembakau. “Kalau sudah dikemas di bea cukainya masuknya golongan tis. Jadi terkendala di Bandung Barat ini kami belum bisa mengemas karena masuknya barang kena cukai,” sebutnya.

Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) KBB, Agus Rianto mengatakan, Pemkab Bandung Barat tengah memfasilitas masalah perizinan tersebut. “Mudah-mudahan saja tahun ini bisa beres terkiat pita cukainya,” katanya.
Agus menuturkan, banyak keuntungan apabila prodak petani sudah mengantongi izin. Jika dijual lempangan Rp40 ribu dari petaninya. Sedangkan jika sudah sampai warung-warung bisa mencapai Rp 80 ribu hingga Rp 100 ribu per lempengnya. “Jadi legalitas izin ini yang menjadi kendalanya. Alhamdulilah sekarang sedang proses dan mudah-mudahan tahun ini beres,” pungkasnya. (advetorial)
